Amar makruf nahi mungkar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kajian Islam Ilmiah Sebagai Salah Satu Bentuk Amar Makruf Nahi Munkar

Amar makruf nahi munkar (Arab: الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر, al-amr bi-l-maʿrūf wa-n-nahy ʿani-l-munkar) adalah sebuah frasa dalam bahasa Arab yang berisi perintah menegakkan yang benar dan melarang yang salah. Ukuran menentukan sesuatu itu sebagai makruf atau munkar sebagaimana dijelaskan oleh Imam Asy-Syaukani rahimahullah beliau berkata, "Dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dikatakan makruf atau munkar adalah Alquran dan sunah."[1] Yang menjadi tolak ukur bukanlah perasaan, pikiran manusia, adat, atau tradisi di masyarakat kita.[2] Dalam ilmu fikih klasik, perintah ini dianggap wajib bagi kaum Muslim. "Amar makruf nahi munkar" telah dilembagakan di beberapa negara, contohnya adalah di Arab Saudi yang memiliki Komite Amar Makruf Nahi Mungkar (Haiʾat al-amr bi-l-maʿrūf wa-n-nahy ʿani-l-munkar). Di kekhalifahan-kekhalifahan sebelumnya, orang yang ditugaskan menjalankan perintah ini disebut muhtasib. Sementara itu, di Barat, orang-orang yang mencoba melakukan amar makruf nahi mungkar disebut polisi syariah.

Dalil amar ma'ruf nahi munkar adalah pada surah Luqman, yang berbunyi sebagai berikut:

Amar ma'ruf nahi munkar dilakukan sesuai kemampuan, yaitu dengan tangan (kekuasaan) jika dia adalah penguasa/punya jabatan, dengan lisan atau minimal membencinya dalam hati atas kemungkaran yang ada, dikatakan bahwa ini adalah selemah-lemahnya iman seorang mukmin.[3]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Ismail, Syakban Muhammad. Irsyaadul Fuhuul. hlm. 247. 
  2. ^ Jawas, Yazid bin Abdul Qodir (1430 H/2009 M). Amar Ma'ruf Nahi Munkar Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Bogor: Pustaka At-Taqwa. hlm. 35. ISBN 9789791661188. 
  3. ^ Dari Abu Sa’id Al Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia mengubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia mengubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49).

Lihat pula[sunting | sunting sumber]